Oleh: Gufran Maswain
Topik Maluku.Com, Maluku– Di Indonesia, setiap tahun kita memperingati Hari Buruh Nasional dan Hari Pendidikan Nasional dengan berbagai kegiatan seremonial. Namun, sering kali peringatan ini hanya diwarnai oleh ucapan manis dari pemerintah, sementara realitas di lapangan menunjukkan berbagai tantangan yang belum terselesaikan, terutama di pelosok negeri.
Di daerah-daerah seperti Maluku dan Papua, persoalan pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah besar. Agus Sumule, pakar pendidikan dari Papua, mengungkapkan bahwa pada tahun 2023 terdapat lebih dari 620 ribu anak usia sekolah dasar hingga menengah atas di Tanah Papua yang tidak mengenyam pendidikan atau putus sekolah. Masalah serupa juga terjadi di Maluku. Anggota DPR RI asal Maluku, Alimuddin Kolatfeka, menyatakan bahwa di beberapa daerah seperti Kecamatan Kilmury, tidak tersedia akses jalan dan jembatan. Akibatnya, anak-anak harus menyeberangi sungai dengan berenang untuk bisa sampai ke sekolah.
Kondisi ini tidak hanya mencerminkan minimnya aksesibilitas, tetapi juga menunjukkan potret kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan yang dialami banyak keluarga. Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh di pelosok Maluku, serta pernah meneliti tentang kesejahteraan pekerja dalam skripsi, saya sering merasa resah melihat kondisi buruh yang harus bertahan hidup dengan upah rendah, tanpa perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang memadai. Baik pekerja formal maupun informal di pelosok negeri masih belum mendapatkan hak-haknya secara layak.
Kesenjangan sosial dan ekonomi di negeri ini masih sangat terasa. Buruh di sektor informal atau di daerah terpencil seringkali tidak memiliki akses ke layanan kesehatan, pelatihan kerja, maupun alat pelindung diri yang memadai. Kondisi ini meningkatkan risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Maka, kesejahteraan buruh tidak hanya berbicara tentang upah layak, tetapi juga menyangkut perlindungan menyeluruh yang mendukung hak-hak dasar mereka.
Minimnya kesejahteraan buruh juga berdampak pada kualitas hidup keluarga mereka, termasuk akses pendidikan bagi anak-anak. Hal ini akan memengaruhi kemampuan generasi muda dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Oleh karena itu, peringatan Hari Buruh Nasional dan Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak berhenti pada seremoni, tetapi menjadi momentum refleksi dan evaluasi.
Pemerintah perlu melakukan penilaian menyeluruh terhadap kinerjanya setiap kali memperingati momentum besar seperti ini. Diharapkan, evaluasi ini menjadi dasar dalam meningkatkan kesejahteraan buruh dan memperluas akses terhadap pendidikan yang bermutu, khususnya bagi masyarakat di wilayah terdepan, terluar, dan terpencil. Dengan demikian, pemerintah dapat mengidentifikasi permasalahan yang masih dihadapi dan merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi ketimpangan ini.
Kinerja pemerintah yang berpihak pada rakyat adalah investasi terbaik bagi pembangunan dan kemajuan negara dalam menghadapi tantangan globalisasi.
“Hidup dan menghidupkan juga bagian dari esensi kemanusiaan, maka setiap keringat buruh dan cita anak bangsa wajib dibalas dengan ketulusan cinta.”













